Saya sangat suka belajar mandarin. Seandainya saja saya punya kesempatan untuk belajar lebih awal, saya yakin saya akan menguasainya lebih baik daripada bahasa inggris. Namun, karena sejumlah represi kultural di Indonesia di masa kecil, saya hanya mendapatkan edukasi mandarin yang cukup bagus di saat saya menginjak umur 20.
Tulisan ini bercerita tentang perjalanan saya belajar mandarin, yang dimulai di saat saya berumur 16 tahun. Saya berharap lewat tulisan ini para pembaca menemukan tips-tips belajar mandarin dan inspirasi untuk terus belajar bahasa.
Topik ini dibagi menjadi empat bagian. Bagian pertama mencakup tahun 2005-2007, yaitu masa SMA. Bagian kedua berlangsung dari tahun 2007-2011, di masa saya kuliah S1. Bagian ketiga akan bercerita tentang perjalanan saya di tahun 2007-2013, di saat saya mulai bekerja dan kemudian memulai program S3. Bagian terakhir bercerita tentang tahun 2013-2021, semasa program S3 sampai sekarang.
Bagian 1: Masa SMA (2005-2007)
Bahasa dan budaya Cina, termasuk bahasa dan karakter Mandarin, dilarang penggunaannya di Indonesia selama lebih dari tiga dekade, sampai dengan tahun 2001 di saat larangan tersebut tidak lagi diberlakukan. Oleh karenanya, tidak seperti sekarang, mendapatkan pelajaran bahasa mandarin yang berkualitas hampir tidak mungkin di saat saya kecil. Bahkan sampai sekarang, masalah sistemik masih saja menghalangi perkembangan edukasi mandarin di Indonesia. Larangan berbahasa mandarin dihapus di tahun 2001. Di tahun 2005, ibu saya mendaftarkan anak-anaknya untuk les mandarin. Berencana mengirim kami kuliah ke Singapur atau Taiwan di masa mendatang, ibu berpikir bahwa bahasa Mandarin akan berguna nantinya.
Begitulah, pelajaran mandarin saya dimulai di tahun 2005, di saat saya berumur 16. Kelas dilaksanakan seminggu sekali di rumah sang ibu guru. Rumahnya tidak jauh dari rumah kami. Bu guru menggunakan buku anak-anak dari Taiwan sebagai materi pembelajaran. Setiap minggu, rutinitasnya itu-itu saja. Dia membaca cerita. Kami harus mengulang semua kalimat yang dia baca dengan lantang. Kemudian bu guru membuat daftar kata-kata baru dan meminta kami menyalin huruf-huruf baru tersebut di buku tulis. Bu guru sama sekali tidak mengajarkan kami sistem fonologi standar bahasa mandarin, seperti zhuyin, ataupun pinyin. Kami hanya meniru saja bagaimana dia membaca, dan menulis. Selama dua tahun, beginilah saya belajar mandarin. Seperti yang saya sudah ceritakan, mendapatkan edukasi mandarin yang berkualitas bisa dibilang adalah barang mahal.
Selain itu, saya juga mengambil bahasa mandarin sebagai kegiatan ekstra kurikuler di tahun terakhir saya di masa SMA. Kelasnya tidak serius, bisa dibilang untuk main-main saja. Nilai yang diperoleh tidak akan menentukan apakah kami naik kelas atau tidak. Buku yang digunakan menekankan keterampilan percakapan dan hanya mengajarkan siswa percakapan sederhana seperti “apa kabar?”, dan “saya baik-baik saja”. Kami juga diberikan pengenalan sepintas tentang sistem fonologi pinyin di kelas.
Karena saya mulai belajar mandarin cukup telat, dan juga kualitas edukasi mandarin yang kurang memadai, saya hanya mencapai level pemula, tepatnya HSK2 (CEFR A1) di saat saya mulai kuliah.